Kamis, 05 Januari 2012

Makna Qoul Imam Mujtahid


Akhir- akhir ini kita sering mendengar, selogan - selogan yang menyerukan agar umat islam kembali kepada sumber agama islam yang pokok, yang kebenarannya absolut, yaitu al-quran dan as-sunah dan melarang taqlid. Ucapan seperti ini kedengarannya baik, tapi didalamnya banyak kekhawatiran bagi keutuhan syariat islam sendiri. Karena walaupun Al Quran & As Sunah itu kebenarannya mutlak akan tetapi tingkat pemahaman manusia yang memahaminya itu relatif, yang akhirnya bagi orang yang awam yang tidak faham akan ilmu pendukungnya maka akan jauh dari pada murod makna alquran itu sendiri.
Berbagai macam pendapatpun gencar dilontarkan demi mempertahankan pendapat-pendapatnya, sehingga dapat kita klasifikasikan sebagai “menegakkan benang yang basah”. Mereka kerap mengutip qoul para ulama Mujtahid yang sering kita dengar seperti :
 
  إذا صح الحديث فهو مذهبي
  لا ينبغي لمن لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي
  لا تقلدني و لا تقلد مالكا و لا الأوزاعي و لا غيرهم و خذ الأحكام من حيث أخذوا


Pendapat-pendapat para Imam Mujtahid ini sering disalah gunakan oleh golongan yang  menyerukan kalimat seperti ini. Qoul pertama yang artinya (( Jika sebuah hadits itu shahih maka itulah mazhabku)) digunakan oleh golongan ini dengan mengatakan bahawa, jika kita menemukan sebuah hadits yang sahih dan mendapati hadits tersebut bertentangan dengan pendapat Imam Mujtahid ( Abu Hanifah, Malik, As Syafi’i dan Ahmad bin Hambal radhiyallahu anhum), maka dahulukan hadits yang sahih, kerana menurut mereka itu juga merupakan pendapat para Imam tersebut. Al-Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan di dalam muqaddimah Majmu’ Syarah Muhazzab:  Memang benar al-Imam As Syafi’i menyebutkan :
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم و دعوا قولي
Artinya: Jika kamu semua (para ulama) mendapati di dalam kitab yang aku tulis menyalahi Sunnah baginda sallallahu alaihi wasallam maka keluarkan pendapat kamu semua dengan Sunnah Baginda sallallahu alaihi wasallam dan tinggalkan pendapatku.”
Al-Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan lagi bahawa: Kata-kata Imam As Syafi’i tersebut bukanlah bermaksud barang siapa saja yang menjumpai hadits sahih maka terus mengatakan bahawasannya itu merupakan mazhab Imam As Syafi’i itu sendiri. Malah beramal dengan zhahir kalam itu semata-mata. Bahkan sebenarnya kalam al-Imam As Syafi’i tersebut ditujukan kepada para ulama yang telah sampai kepada peringkat ijtihad di dalam mazhab seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya (lihat Muqaddimah Majmu’ ). Syarat untuk para yang beramal dengan kalam Imam ini ialah mesti tidak meletakkan sangkaan bahawa al-Imam As Syafi’i radhiyallahuanhu tidak berjumpa dengan hadits ini atau tidak mengetahui bahawa hadits ini tidak Sahih. Syarat ini tidak akan dapat disempurnakan melainkan setelah mengkaji dan menelaah keseluruhan kitab-kitab karangan al-Imam As Syafi’i , kitab-kitab para ulama As Syafi’iyah yang lain dan yang seumpama dengannya. Inilah merupakan syarat yang agak sukar untuk dipenuhi. Hanya sedikit yang dapat menyempurnakan syarat ini.
Maksud perkataan al-Imam Nawawi tersebut sangatlah jelas. Tentunya agak mengherankan bagi kita, bahwa golongan yang mengutip qoul al-Imam As Syafi’i itu kadang-kadang bertentangan dengan qoulnya (tujuan ucapan Imam Syafi'i), ini merupakan penisbatan yang menyimpang. Bahkan terhadap kitab-kitab karya al-Imam As Syafi’i mereka tidak memahaminya dengan baik (maksudnya memerlukan penguasaan bahasa Arab yang tinggi, kerana al-Imam As Syafi’i radhiyallahu anhu merupakan seorang ahli Bahasa Arab yang hebat), apalah lagi membacanya. Inilah yang sepatutnya harus disadari oleh mereka, tetapi ego, dan kesombonganlah yang menyebabkan mereka tidak mau memahami pendapat ulama tersebut. Oleh karena itulah, perlu membaca kitab para ulama dengan para alim-ulama yang benar- benar diakui kredibilitas keilmuannya, bukan hanya dengan membaca secara sendirian tanpa guru yang membimbing. Akan sesat jadinya. Ini asas pertama yang perlu diperbaiki oleh mereka. Akhir-akhir ini kita melihat mereka juga belajar dengan guru, tetapi guru yang mengajarnya pada hakikatnya belajar dengan guru yang tidak belajar dengan ulama yang sifat keulamaannya masih di perselisihkan, dan jauh daripada pendapat-pendapat  jumhur para ulama. Kata Imam Nawawi lagi menukilkan kata-kata Imam Abu Amru Ibn Salah rahimahumallah:
Kalam al-Imam As Syafi’i tersebut bukanlah boleh diamalkan dengan zhahir luarannya semata, tidaklah semua ulama yang Faqih (hebat dalam ilmu fiqhnya) beramal secara terus dari hadits yang dipakai sebagai hujah baginya.”
Kata Imam Abu Amru Ibn Shalah : “ Jika seorang ulama bermazhab As Syafi’i tersebut menjumpai sebuah hadits yang menurutnya bertentangan dengan mazhab yang dipegangnya, Maka perlu dilihat semula kepada keahlian orang tersebut. Jika ulama tersebut telah mencapai peringkat Ijtihad (seperti yang kita sebutkan di dalam keluaran yang lepas) maka tiadalah masalah baginya untuk beramal dengan hadits tersebut. Tetapi jika dia masih tidak mencapai tahap Ijtihad dan menyukarkan baginya menemukan sebab-sebab pertentangan hadits tersebut dengan kalam Imam Mazhab itu sendiri maka bolehlah baginya beramal dengan hadits tersebut jika terdapat seorang lagi Imam Mujtahid Mutlak selain Imam As Syafi’i (seperti Imam Abu Hanifah , Malik, Ahmad dan lain-lain).”
Kata al-Syeikh Wahbi Sulaiman Ghawuji al-Albani hafizahullah (bukan Syeikh Nasiruddin al-Albani) di dalam risalah kecilnya berkenaan kalam tersebut:
Maksud kalam tersebut ialah: Kata para imam , kalam tersebut ditujukan kepada para ulama yang benar-benar layak atau memiliki otoritas di dalam mengeluarkan hukum. Mereka (yang dibenarkan) adalah yaitu para ulama yang hebat di dalam ilmu hadits. Ini bermakna, jika hadits sahih tersebut bertepatan dengan syarat-syarat pengambilan sebuah hadits dan kaidahnya berdasarkan mazhab yang mereka gunakan , maka gunakanlah hadits tersebut. Bukannya kalam tersebut menyuruh setiap yang mendapati hadits shahih terus meninggalkan beramal dengan pendapat imam mazhab.
Sebaliknya orang yang sering mengutip kalimat tersebut, mereka memaknainya hanya dengan lahiriahnya saja, padahal bukan maksud yang sebenarnya dari kalimat tersebut. Al-Imam Malik Radhiyallahuanhu menyebutkan kepada para muridnya (yang merupakan para mujtahid) ketika beliau mengeluarkan pendapat di dalam sebuah hukum,
 “ Kamu perlu mengkajinya lagi, karena itu merupakan pegangan agama kita. Tiada seorang pun boleh diterima pendapatnya bulat-bulat tanpa perlu dikritik, melainkan pendapat yang dikeluarkan oleh pemilik Maqam yang mulia ini ( mengisyaratkan kepada Saidina Muhammad sallallahu alaihi wasallam).”
Timbul pertanyaan, apakah Imam Malik radhiyallahu anhu bercakap seorang diri ketika tersebut? Atau apakah beliau mengucapkan pendapat tersebut dihadapan orang awam yang tidak mengerti hukum? Jawabannya tentu tidak sama sekali. Golongan yang dibicarakan oleh al-Imam ialah merupakan kelompok mujtahid. Seolah-olah al-Imam ingin memberitahukan kepada murid-muridnya bahwa mereka juga telah sampai kepada peringkat Ijtihad yang tinggi. Syarat- syarat untuk menjadi seorang mujtahid sangatlah sulit seperti yang kita telah tahu dalam ilmu ushul fiqh. Jika syarat seperti ini masih tidak bisa terpenuhi, maka bagaimana orang tersebut bisa mengaku bahawa dia mampu mengeluarkan hukum secara langsung daripada al-Quran dan Sunnah? Pendapat kedua yang sering digunakan oleh mereka ialah pendapat yang dikeluarkan oleh al-Imam Abu Hanifah radhiyallahuanhu yaitu :
لا ينبغي لمن لم يعرف دليلي أن يُفتي بكلامي
Artinya: Tidak sepatutnya bagi orang yang tidak mengetahui dalil yang aku keluarkan untuk berfatwa dengan pendapatku.
Pendapat ini jelas menunjukkan bahawa ucapan itu ditujukan kepada golongan ulama yang benar- benar alim di dalam bidang tersebut. Ini karena perkataan “ berfatwa” tersebut tidak lain dan hanya semata- mata ditujukan kepada para ulama ahli fatwa, bukannya mujtahid jadi-jadian (mujtahid gadungan / karbitan). Ini perlu difahami dengan baik dan jelas. Perlu juga bagi orang tersebut melihat pula pada syarat-syarat untuk berfatwa yang disusun oleh para ulama . Diantaranya ulama yang menyusun tentang adab-adab berfatwa ini ialah al-Imam Abu Qasim al-Soimuri rahimahullah (murid al-Imam Mawardi rahimahullah), al-Imam al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah, dan al-Imam Abu Amru Ibn Salah rahimahullah. Ketiga kitab tersebut telah diringkaskan pembahasannya oleh al-Imam Nawawi rahimahullah dan beliau meletakkan pembahasan tersebut di dalam kitabnya Majmu’ Syarah Muhazzab. Jika mereka membaca semua syarat-syarat berfatwa dan Mufti, tentulah mereka akan menyadari betapa jauhnya antara kita dengan para ulama yang benar- benar sampai kepada peringkat mengeluarkan fatwa. Malahan al-Imam Nawawi sendiri menyebutkan bahwa bidang fatwa adalah merupakan bidang yang sangat berbahaya / rawan untuk dimasuki, tetapi sangat tinggi kelebihannya (bagi yang layak saja). Al-Imam Malik radhiyallahu anhu menyebutkan:
ما أفتيت حتى شهد لي سبعون أني أهل لذلك
Artinya: Aku tidak akan berfatwa melainkan selepas disaksikan oleh tujuh puluh orang ulama bahwa aku benar-benar layak di dalam bidang fatwa ini.
Kalimat-kalimat seperti ini tidak dilihat oleh golongan tersebut. Mereka hanya mengambil pendapat-pendapat secara lahiriahnya saja yang kelihatannya seperti perintah kepada diri mereka untuk meninggalkan berpegang pada mazhab itu. Padahal mereka tidak memahami maksud kalam itu sendiri. Jika kita memahami maksud kalam-kalam tersebut dengan baik, maka pendapat Imam Ahmad bin Hambal radhiyallahu anhu itu mudah bagi kita pahami. Maksudnya Imam Ahmad menyebutkan pendapat tersebut bukanlah untuk orang awam, melainkan untuk para ulama yang telah mencapai peringkat Ijtihad. Al-Allamah Syeikh Muhammad Awwamah hafizahullah menukilkan kalam al-Imam Kairanawi radhiyallahu anhu: “Maksud sebenar kalam al-Imam As Syafi’i (Jika sebuah hadits itu shahih maka itulah Mazhabku) dan kalam ulama yang lain yang menyebutkan demikian itu ialah tidak lain selain ingin menunjukkan kepada kita hakikat bahawa kalam yang menjadi hujjah adalah kalam Baginda sallallahu alaihi wasallam bukannya kalam kami (para Imam Mujtahid). Seolah-olah Imam As Syafi’i ingin mengatakan: Jangan kamu menyangka kalam aku adalah hujjah berbanding kalam Baginda Sallallahu alaihi wasallam dan aku juga berserah kepada Allah jika pendapat yang aku sebutkan bertentangan dengan Sabda Baginda sallallahu alaihi wasallam.”
Hakikatnya, kalam al-Imam As Syafi’i radhiyallahu anhu adalah merupakan sifat tawaddhuk yang ada pada beliau. Mustahil seseorang Imam tersebut akan mengeluarkan sesuatu hukum dengan hawa nafsunya melainkan setelah dikaji secara terperinci dengan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya dan iman yang mendalam. Oleh sebab itulah al-Imam Ibn Uyainah Radhiyallahuanhu menyebutkan:
الحديث مضلة إلا للفقهاء
Artinya: Hadits adalah sesuatu yang mampu menyesatkan seseorang (yang tidak memahaminya) melainkan kepada para fuqaha (ulama).
Al-Imam Ibn Hajar al-Haitami radhiyallahu anhu menerangkan maksud sebenar kalam al-Imam Ibn Uyainah radhiyallahu anhu di dalam kitabnya Fatawa Haditsiah mukasurat 521:
“Maksud kalam tersebut ialah Hadits itu seumpama al-Quran yang mana itu terkadang merupakan lafaz umum tetapi maknanya khusus, didalamnya juga terdapat Nasakh dan Mansukh, terdapat juga hadits yang tidak diamalkan, dan sebagiannya jika dipegang dengan zhahir lafazd maka akan menjadi masalah seperti hadits ينزل ربنا (Allah turun ke Langit pertama disepertiga malam). Jadi maksud sebuah hadits yang sebenarnya  tidak akan dapat difahami melainkan diterangkan oleh para ulama. Ini berbeda dengan orang yang tidak mengetahui maksud sebenar hadits tersebut melainkan zahirnya semata-mata, maka akan tersesat jadinya seperti yang berlaku kepada sebagian ulama terdahulu dan terkemudian seperti Ibn Taimiyah dan pengikutnya”
Untuk menentukan sebuah hadits sahih tersebut bertentangan dengan pendapat Imam Mazhab maka perlu bagi mereka yang berkata demikian hendaknya mempunyai dua perkara:
1. Mngetahui bahwa Sang Imam tidak menemukan hadits yang dia temui.
2. Orang yang mengatakan demikian mestilah seorang yang benar-benar pakar di dalam ilmu rijal Hadits, Matan Hadits, cara-cara berhujah dengan hadits, dan cara mengeluarkan hukum daripada hadits tersebut berdasarkan kaidah yang diletakkan oleh mazhab.
Terdapat 4 marhalah (peringkat ) untuk menentukan apakah benar orang tersebut benar-benar pakar di dalam Ilmu hadits atau bukan. (Dikutip secara ringkas daripada risalah al-Syeikh Wahbi Sulaiman Ghawuji al-Albani hafizahullah ):
Peringkat pertama
Di dalam peringkat ini orang tersebut perlulah mengetahui kedudukan perawi hadits tersebut beserta Tsiqah, Saduq dan sebagainya. Serta perlu juga memerhatikan hafalan dan kekuatan ingatan perawi tersebut, mengetahui tentang martabat tsiqah, tempat mana yang perlu didahulukan jarah dan ta’dil (nama ilmu di dalam Mustalah Hadits bagi menentukan derajat seorang perawi). Mengetahui tentang bagaimana tarikh perawi tersebut meninggal dunia dan dari manakah asalnya dan sebagainya. Singkatnya kesemua ilmu yang diterangkan di dalam kitab Mustalah Hadits perlu diketahui secara teliti dan mendalam oleh seseorang tersebut.
 Peringkat kedua
Peringkat ini lebih sukar dari pada sebelumnya. Setelah orang tersebut mengetahui secara mendalam tentang mustalah hadits tersebut maka perlu pula baginya untuk mengkaji secara teliti dan mendalam hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab Sihah, Sunan, Musnad, Jawami’, Mu’jam, al-Ajza’dan lain-lain kitab hadits untuk mencari sebuah hadits tersebut apakah ada yang benar-benar bertentangan dengan pendapat sang Imam, maka diharuskan baginya untuk mengetahui apakah hadits tersebut Mutawatir, Masyhur dan sebagainya. Perlu juga baginya mengetahui apakah hadits tersebut Syaz atau mungkar dan juga harus mengetahui apakah hadits tersebut marfu’, mauquf atau maqtu’.
Oleh karna itu, al-Imam Abu Hatim al-Razi rahimahullah menyebutkan: “ Tidaklah seseorang dikatakan benar- benar pakar di dalam bidang hadits melainkan setelah kami (para ulama hadits ) menulis hadits tersebut dengan 60 keadaan dan dia mampu menerangkan satu persatu hadits-hadits tersebut tentang hukumnya apakah itu Syaz, Mungkar, Ma’ruf, Mutawatir, Marfu’, Mauquf, Fard dan Masyhur.”
Peringkat ketiga
Peringkat ini lebih sukar daripada kedua peringkat di atas. Setelah benar- benar melalui kedua peringkat tersebut, maka orang tersebut perlulah melihat apakah ada hadits yang dikajinya terdapat illah (kecacatan) atau tidak. Illah yang tersembunyi menurut para ulama hadits adalah yang paling sukar ditemukan melainkan oleh ulama- ulama yang benar- benar pakar di dalam ilmu hadits. Hal Ini dapat diketahui dengan jelas oleh siapa saja yang mempelajari ilmu hadits dengan baik.
Peringkat keempat
            Peringkat ini adalah yang paling sukar ditemukan melainkan para Mujtahid yang sampai ke peringkat mutlak. Banyak ulama hadits yang sukar mencapai peringkat ini walaupun mereka sudah mencapai ketiga peringkat yang sebelumnya. Walaupun mereka menghafal hadits tersebut dan mengetahui segalanya tentang ilmu hadits , akan tetapi di dalam permasalahan hukum mereka tetap menyerahkannya kepada para fuqaha. Kerana itulah al-Imam al-A’mash radhiyallahu anhu menyebutkan kepada al-Imam Abu Hanifah radhiyallahu anhu:
يا معشر الفقهاء, أنتم الأطباء ونحن الصيادلة و أنت أيها الرجل أخذت بكلا الطرفين
Artinya: Wahai para fuqaha, kamu adalah doktor yang mengetahui tentang ubat sesuatu penyakit, manakala kami para muhaddits (ulama hadits) merupakan pemilik ubat tersebut. Manakala kamu wahai lelaki ( Imam Abu Hanifah ) , kedua-duanya kamu miliki (sebagai seorang doktor dan sebagai seorang pemilik farmasi).
Maksud kalam al-Imam al-A’mash tersebut ialah para fuqaha mengetahui di manakah sumber pengambilan hukum bagi menyelesaikan sesuatu permasalahan, manakala para muhaddits akan membekalkan hadits-hadits sebagai sumber pengambilan hukum tersebut, yang mana al-Imam Abu Hanifah radhiyallahu anhu mempunyai keahlian dalam kedua bidang tersebut (yaitu hadits dan fiqh).
Kesimpulan
Setelah kita perhatikan dan membaca serta menela'ah dengan teliti pembahasan pada tulis ini, jelaslah bahwa menghukumkan sesuatu yang hanya dengan zhahirnya saja, seperti ucapan yang sering kita dengar, "bahwa itu bertentangan dengan pendapat Imam mujtahid" dengan mengutip qoulnya yang tujuannya hanyalah untuk meruntuhkan ajaran mazhab, sebenarnya itu merupakan suatu bantahan yang tidak berasas dan tidak mengikuti jalur pengajian dan pengkajian yang tepat. Pembahasan ini mungkin terasa berat bagi orang yang belum faham tentang istilah- istilah yang digunakan. Dan perlu di ketahui juga bahwa di jaman sekarang ini sangatlah sulit bagi kita untuk menemukan ulama yang berpredikat sebagai mujtahid mutlak, tapi kalau mujtahid gadungan/ karbitan/ jadi- jadian sangatlah banyak. Semoga kita semua menyadari bahwa kita belum mencapai martabat tersebut. Maka perlu beristghfar dan memohon ampunan atas keterlanjuran dan keegoan yang terdapat di dalam diri. 
 Wallallahu a’lam bishowab,

1 komentar:

  1. Borgata Poker | Poker & Casino | Wagering Requests
    Borgata's casino has a lot of games including งานออนไลน์ blackjack, roulette, craps, and more. 인카지노 Poker & Casino Games, Borgata Poker's online 바카라 사이트 poker room,

    BalasHapus